BLOGSIA.EU.ORG - Pemerintah Amerika Serikat melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menilai dua sistem pembayaran digital Indonesia, QRIS dan GPN, sebagai hambatan dalam perdagangan digital dan elektronik.
Penilaian ini termuat dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang dirilis pada 31 Maret lalu.
USTR menyebut bahwa kedua sistem tersebut membatasi akses perusahaan keuangan asal AS seperti Visa dan Mastercard dalam bersaing di pasar Indonesia.
Selain Indonesia, laporan NTE juga mencantumkan total 59 negara mitra dagang yang dianggap menerapkan hambatan perdagangan serupa. Negara-negara tersebut kini terancam dikenakan tarif resiprokal oleh AS.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa Indonesia seharusnya tetap melanjutkan pengembangan QRIS dan GPN.
Menurutnya, kedua sistem ini justru merupakan bagian dari strategi memperkuat kedaulatan ekonomi digital dan memperluas inklusi keuangan nasional.
"Dengan adanya QRIS dan GPN, Indonesia tidak lagi tergantung pada infrastruktur pembayaran asing. Biaya transaksi menjadi lebih murah, dan data keuangan nasional dapat dikendalikan lebih baik oleh otoritas dalam negeri," ujarnya dilansir Kompas.com.
Menurut Bhima, kritik AS tidak lepas dari kekhawatiran akan turunnya dominasi perusahaan seperti Visa dan Mastercard di Indonesia. Sejak diterapkannya QRIS, penggunaan sistem luar seperti kartu kredit buatan AS semakin menurun.
"Ini soal pasar. Mereka khawatir pangsa mereka menyusut karena kita punya sistem sendiri yang efisien dan lebih murah,” jelas Bhima.
Senada dengan Bhima, ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan bahwa sebelum GPN diterapkan, sekitar 90% transaksi kartu di Indonesia dikuasai oleh jaringan internasional, dengan biaya switching yang tinggi.
GPN hadir untuk menekan biaya tersebut sekaligus memperkuat kontrol Indonesia atas sistem keuangan. Namun, AS menilai QRIS dan GPN tidak sesuai dengan standar internasional yang mereka anut.
"Ada paradoks. Di satu sisi AS bicara integrasi sistem global, tapi di sisi lain mereka tidak mau menyesuaikan diri dengan standar lokal yang sudah terbukti efektif," ungkap Achmad.
AS juga meminta agar Bank Indonesia (BI) lebih transparan dalam menyusun kebijakan. Namun, menurut Achmad, permintaan ini harus dikritisi karena bisa membuka celah intervensi asing dalam proses kebijakan publik.
“Kalau kita tunduk pada tekanan seperti ini, presedennya buruk. Ke depan bisa-bisa kebijakan kita ditentukan oleh lobi korporasi asing, bukan berdasarkan kebutuhan rakyat,” tegasnya.
Achmad menekankan bahwa sistem pembayaran seperti QRIS dan GPN menjawab kebutuhan 277 juta warga Indonesia—yakni sistem yang murah, mudah, dan menjangkau pelosok.
Pemerintah Indonesia dan BI dinilai perlu mengambil pendekatan negosiasi yang cerdas dan tidak reaktif. Achmad mengusulkan tiga langkah:
Konsultasi teknis terbatas: BI bisa membuka ruang dialog terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip utama. Misalnya, memberi ruang kolaborasi teknologi dengan syarat penggunaan server lokal dan transfer pengetahuan.
Diplomasi ekonomi aktif: Pemerintah perlu menjelaskan bahwa QRIS dan GPN bukanlah hambatan, tapi peluang kolaborasi. Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model sistem pembayaran bagi negara berkembang lainnya.
Interoperabilitas bertahap: Indonesia bisa mengembangkan integrasi bertahap dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu. Ini menunjukkan kesiapan menuju standar global tanpa langsung tunduk pada tekanan AS.
“Langkah ini akan memperkuat posisi Indonesia sekaligus meredakan kekhawatiran AS bahwa kita menutup diri terhadap kerja sama internasional,” ujar Achmad.
(*)