blogsia.eu.org - Australia secara tegas menolak ajakan China untuk bersatu menghadapi tarif dagang tinggi yang diberlakukan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.
Dalam eskalasi perang dagang terbaru antara Washington dan Beijing, Pemerintah Australia memilih untuk menjaga sikap independen dan mengedepankan kepentingan nasionalnya sendiri.
Menurut laporan BBC News (10/4/2025), China, melalui Duta Besarnya untuk Australia, Xiao Qian, menyerukan agar kedua negara "bergandengan tangan" untuk melawan kebijakan tarif Amerika Serikat yang dinilainya sebagai tindakan hegemonik dan penuh intimidasi. Dalam opininya yang dimuat oleh Nine Newspapers, Xiao menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan perilaku sepihak AS adalah dengan perlawanan bersama.
Namun, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menegaskan bahwa negaranya akan berbicara dan bertindak atas nama sendiri. “Australia akan berbicara untuk dirinya sendiri,” tegasnya dalam sebuah konferensi pers.
Menteri Pertahanan Richard Marles juga menyatakan dengan jelas bahwa Australia tidak akan "menggandeng tangan China" dalam isu ini. Dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation, ia menambahkan bahwa kebijakan luar negeri dan perdagangan Australia berfokus pada kepentingan nasional, bukan sekadar mengikuti seruan negara lain.
Tarif terbaru dari pemerintahan Trump menjadi pemicu ketegangan baru. AS memberlakukan tarif impor sebesar 10% pada barang Australia dan menaikkan tarif pada produk China hingga 125%. Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan hingga 84% terhadap produk AS, memicu reaksi tambahan dari Washington.
Meski kecewa dengan kebijakan tarif AS, Australia menyatakan tidak akan melakukan tindakan balasan. Sebaliknya, Canberra memilih untuk melanjutkan dialog dengan Gedung Putih dan mencari solusi melalui jalur diplomatik.
Duta Besar Xiao dalam tulisannya mengkritik keras sikap AS yang dianggap telah "memperalat" isu perdagangan sebagai senjata politik. Ia memperingatkan bahwa kompromi yang lemah terhadap kebijakan Trump bisa menghancurkan tatanan ekonomi global dan menyeret dunia ke dalam "kubangan" dan "jurang".
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama Australia-China yang sudah terjalin lama dan saling menguntungkan, serta menyerukan komunitas internasional untuk menolak unilateralisme dan proteksionisme.
Namun, Australia menunjukkan arah kebijakan yang berbeda. Albanese menyatakan bahwa negaranya tengah mengupayakan ekspansi perdagangan ke wilayah lain di luar AS. "Delapan puluh persen perdagangan Australia tidak melibatkan Amerika Serikat. Masih banyak peluang yang dapat kita manfaatkan," ujarnya.
Menteri Pertahanan Marles juga menekankan pentingnya mengurangi ketergantungan pada China sebagai upaya memperkuat ketahanan ekonomi. Ia menyebut diversifikasi mitra dagang sebagai prioritas utama, khususnya dengan negara-negara seperti Indonesia, India, Inggris, dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Don Farrell telah menggelar serangkaian pertemuan dengan mitra dagang potensial seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan India, guna memperluas jaringan perdagangan Australia di tengah ketidakpastian global.
Sikap tegas Australia ini mencerminkan pendekatan yang berimbang dan strategis dalam menghadapi dinamika geopolitik global, dengan tetap menjaga otonomi kebijakan dan menjajaki peluang perdagangan baru.
Menurut laporan BBC News (10/4/2025), China, melalui Duta Besarnya untuk Australia, Xiao Qian, menyerukan agar kedua negara "bergandengan tangan" untuk melawan kebijakan tarif Amerika Serikat yang dinilainya sebagai tindakan hegemonik dan penuh intimidasi. Dalam opininya yang dimuat oleh Nine Newspapers, Xiao menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan perilaku sepihak AS adalah dengan perlawanan bersama.
Namun, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menegaskan bahwa negaranya akan berbicara dan bertindak atas nama sendiri. “Australia akan berbicara untuk dirinya sendiri,” tegasnya dalam sebuah konferensi pers.
Menteri Pertahanan Richard Marles juga menyatakan dengan jelas bahwa Australia tidak akan "menggandeng tangan China" dalam isu ini. Dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation, ia menambahkan bahwa kebijakan luar negeri dan perdagangan Australia berfokus pada kepentingan nasional, bukan sekadar mengikuti seruan negara lain.
Tarif terbaru dari pemerintahan Trump menjadi pemicu ketegangan baru. AS memberlakukan tarif impor sebesar 10% pada barang Australia dan menaikkan tarif pada produk China hingga 125%. Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan hingga 84% terhadap produk AS, memicu reaksi tambahan dari Washington.
Meski kecewa dengan kebijakan tarif AS, Australia menyatakan tidak akan melakukan tindakan balasan. Sebaliknya, Canberra memilih untuk melanjutkan dialog dengan Gedung Putih dan mencari solusi melalui jalur diplomatik.
Duta Besar Xiao dalam tulisannya mengkritik keras sikap AS yang dianggap telah "memperalat" isu perdagangan sebagai senjata politik. Ia memperingatkan bahwa kompromi yang lemah terhadap kebijakan Trump bisa menghancurkan tatanan ekonomi global dan menyeret dunia ke dalam "kubangan" dan "jurang".
Ia juga menekankan pentingnya kerja sama Australia-China yang sudah terjalin lama dan saling menguntungkan, serta menyerukan komunitas internasional untuk menolak unilateralisme dan proteksionisme.
Namun, Australia menunjukkan arah kebijakan yang berbeda. Albanese menyatakan bahwa negaranya tengah mengupayakan ekspansi perdagangan ke wilayah lain di luar AS. "Delapan puluh persen perdagangan Australia tidak melibatkan Amerika Serikat. Masih banyak peluang yang dapat kita manfaatkan," ujarnya.
Menteri Pertahanan Marles juga menekankan pentingnya mengurangi ketergantungan pada China sebagai upaya memperkuat ketahanan ekonomi. Ia menyebut diversifikasi mitra dagang sebagai prioritas utama, khususnya dengan negara-negara seperti Indonesia, India, Inggris, dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Don Farrell telah menggelar serangkaian pertemuan dengan mitra dagang potensial seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan India, guna memperluas jaringan perdagangan Australia di tengah ketidakpastian global.
Sikap tegas Australia ini mencerminkan pendekatan yang berimbang dan strategis dalam menghadapi dinamika geopolitik global, dengan tetap menjaga otonomi kebijakan dan menjajaki peluang perdagangan baru.
(*)