blogsia.eu.org - Ketegangan dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia kembali memanas.
Pada Rabu lalu, Kementerian Perdagangan China mengumumkan serangkaian sanksi terhadap 18 perusahaan asal Amerika Serikat.
Hal itu dilakukan sebagai tanggapan atas keputusan mantan Presiden Donald Trump yang kembali memberlakukan tarif tambahan sebesar 50% terhadap barang impor asal China.
Mengutip pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China seperti dilaporkan India Times (9/04/2025), sebanyak 12 perusahaan asal AS dimasukkan ke dalam daftar kontrol ekspor yang melarang mereka mengekspor produk-produk berteknologi ganda (dual-use).
Sementara itu, enam perusahaan lainnya dimasukkan dalam "daftar entitas tidak dapat dipercaya" atau unreliable entities list, sebuah mekanisme yang memungkinkan pemerintah China untuk menjatuhkan sanksi tambahan terhadap entitas asing yang dianggap merugikan kepentingan nasional mereka.
Tak hanya itu, Beijing juga mengumumkan kenaikan tarif terhadap produk-produk asal Amerika Serikat hingga 50%.
Kenaikan ini merupakan tambahan dari tarif sebelumnya yang sudah mencapai 34% dan akan mulai diberlakukan pada Kamis, menjadikan total bea tambahan terhadap barang impor AS menjadi 84%.
Sanksi terbaru dari Beijing ini menyasar perusahaan-perusahaan AS yang sebagian besar memiliki kontrak dengan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) dan berbagai lembaga pemerintahan federal.
Dengan ini, jumlah perusahaan asal AS yang dijatuhi sanksi oleh China akibat kebijakan tarif Trump telah mencapai sekitar 60 entitas, sejak putaran pertama sanksi diberlakukan pada bulan Februari lalu.
Dalam pernyataannya, pemerintah China menjelaskan bahwa enam perusahaan yang dimasukkan dalam daftar entitas tidak dapat dipercaya telah terlibat dalam penjualan senjata atau kerja sama militer dengan Taiwan.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut dilarang melakukan kegiatan ekspor-impor yang berkaitan dengan China serta tidak diizinkan untuk berinvestasi di negara tersebut.
"Selama beberapa tahun terakhir, enam perusahaan ini—termasuk Shield AI dan Sierra Nevada Corporation—telah secara serius mengancam kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan China," ungkap Kementerian Perdagangan China dalam pernyataannya.
Shield AI, sebuah perusahaan asal California, dikenal sebagai pengembang drone militer berbasis kecerdasan buatan.
Sementara Sierra Nevada Corporation, kontraktor lama Pentagon dan NASA, pada tahun lalu ditunjuk oleh Angkatan Darat AS untuk mengubah armada jet bisnis menjadi pesawat mata-mata canggih.
Meski sebagian besar perusahaan yang terdampak sanksi tidak memiliki bisnis langsung di China, seperti yang diungkap dalam laporan Reuters berdasarkan data perusahaan, pembatasan ini berpotensi mengganggu rantai pasok mereka secara signifikan.
Contohnya, ketika produsen drone AS, Skydio, dikenai sanksi oleh Beijing pada Oktober lalu karena penjualan senjata ke Taiwan—wilayah yang diklaim China sebagai bagian dari kedaulatannya—perusahaan tersebut langsung mengalami kesulitan karena terputusnya pasokan baterai dari China, sebagaimana dilaporkan oleh Financial Times.
Sementara itu, enam perusahaan lainnya dimasukkan dalam "daftar entitas tidak dapat dipercaya" atau unreliable entities list, sebuah mekanisme yang memungkinkan pemerintah China untuk menjatuhkan sanksi tambahan terhadap entitas asing yang dianggap merugikan kepentingan nasional mereka.
Tak hanya itu, Beijing juga mengumumkan kenaikan tarif terhadap produk-produk asal Amerika Serikat hingga 50%.
Kenaikan ini merupakan tambahan dari tarif sebelumnya yang sudah mencapai 34% dan akan mulai diberlakukan pada Kamis, menjadikan total bea tambahan terhadap barang impor AS menjadi 84%.
Sanksi terbaru dari Beijing ini menyasar perusahaan-perusahaan AS yang sebagian besar memiliki kontrak dengan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) dan berbagai lembaga pemerintahan federal.
Dengan ini, jumlah perusahaan asal AS yang dijatuhi sanksi oleh China akibat kebijakan tarif Trump telah mencapai sekitar 60 entitas, sejak putaran pertama sanksi diberlakukan pada bulan Februari lalu.
Dalam pernyataannya, pemerintah China menjelaskan bahwa enam perusahaan yang dimasukkan dalam daftar entitas tidak dapat dipercaya telah terlibat dalam penjualan senjata atau kerja sama militer dengan Taiwan.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut dilarang melakukan kegiatan ekspor-impor yang berkaitan dengan China serta tidak diizinkan untuk berinvestasi di negara tersebut.
"Selama beberapa tahun terakhir, enam perusahaan ini—termasuk Shield AI dan Sierra Nevada Corporation—telah secara serius mengancam kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan China," ungkap Kementerian Perdagangan China dalam pernyataannya.
Shield AI, sebuah perusahaan asal California, dikenal sebagai pengembang drone militer berbasis kecerdasan buatan.
Sementara Sierra Nevada Corporation, kontraktor lama Pentagon dan NASA, pada tahun lalu ditunjuk oleh Angkatan Darat AS untuk mengubah armada jet bisnis menjadi pesawat mata-mata canggih.
Meski sebagian besar perusahaan yang terdampak sanksi tidak memiliki bisnis langsung di China, seperti yang diungkap dalam laporan Reuters berdasarkan data perusahaan, pembatasan ini berpotensi mengganggu rantai pasok mereka secara signifikan.
Contohnya, ketika produsen drone AS, Skydio, dikenai sanksi oleh Beijing pada Oktober lalu karena penjualan senjata ke Taiwan—wilayah yang diklaim China sebagai bagian dari kedaulatannya—perusahaan tersebut langsung mengalami kesulitan karena terputusnya pasokan baterai dari China, sebagaimana dilaporkan oleh Financial Times.
Meski bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan AS, China tetap berusaha memberikan sinyal positif kepada komunitas bisnis internasional.
Dalam pernyataan mengenai daftar entitas tidak dapat dipercaya, Kementerian Perdagangan China menegaskan bahwa daftar ini hanya ditujukan pada "sejumlah sangat kecil perusahaan" dan bahwa "entitas asing yang jujur dan taat hukum tidak perlu khawatir."
Pendekatan ini menunjukkan bahwa meskipun China ingin membalas kebijakan proteksionis dari Trump, mereka tetap membuka pintu bagi kerja sama internasional dan investasi asing, terutama dari perusahaan-perusahaan yang dianggap tidak memiliki konflik kepentingan dengan kebijakan politik Beijing.
Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Trump dalam masa jabatannya sempat menjadi pusat perhatian dalam konflik perdagangan antara AS dan China.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa meskipun China ingin membalas kebijakan proteksionis dari Trump, mereka tetap membuka pintu bagi kerja sama internasional dan investasi asing, terutama dari perusahaan-perusahaan yang dianggap tidak memiliki konflik kepentingan dengan kebijakan politik Beijing.
Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Trump dalam masa jabatannya sempat menjadi pusat perhatian dalam konflik perdagangan antara AS dan China.
Meskipun Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden, beberapa kebijakannya masih memicu ketegangan bilateral.
Tindakan terbaru Beijing ini menjadi sinyal bahwa hubungan dagang kedua negara belum membaik secara signifikan, dan kemungkinan besar masih akan diwarnai dengan berbagai kebijakan balasan yang saling menyudutkan.
Langkah China juga bisa dibaca sebagai pesan strategis menjelang pemilu AS berikutnya. Dengan mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan kebijakan era Trump, Beijing seolah ingin menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam terhadap perlakuan sepihak, dan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk melakukan pembalasan yang sepadan.
Sebagai penutup, perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik dagang antara Amerika Serikat dan China masih jauh dari kata selesai.
Langkah China juga bisa dibaca sebagai pesan strategis menjelang pemilu AS berikutnya. Dengan mengambil tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan kebijakan era Trump, Beijing seolah ingin menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam terhadap perlakuan sepihak, dan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk melakukan pembalasan yang sepadan.
Sebagai penutup, perkembangan ini menunjukkan bahwa konflik dagang antara Amerika Serikat dan China masih jauh dari kata selesai.
Dunia usaha, terutama yang berada di antara dua kekuatan ini, dihadapkan pada ketidakpastian baru terkait tarif, ekspor-impor, dan hubungan diplomatik.
Perusahaan multinasional pun dituntut untuk semakin berhati-hati dalam menyusun strategi bisnis global mereka di tengah dinamika geopolitik yang terus berubah.
(*)