BLOGSIA.EU.ORG - Indonesia kini resmi menjadi negara dengan persentase penggunaan ponsel untuk internetan tertinggi di dunia.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, Sabtu (26/4), Laporan Digital 2025 Global Overview Report mencatat 98,7% masyarakat Indonesia usia 16 tahun ke atas mengakses internet melalui ponsel.
Angka ini bahkan melampaui Filipina dan Afrika Selatan, yang masing-masing berada di 98,5%.
Rata-rata, orang Indonesia menghabiskan 7 jam 22 menit per hari berselancar di dunia maya, jauh di atas rata-rata global yang hanya 6 jam 38 menit.
Namun, jika menilik durasi keseluruhan, kita masih kalah dari Afrika Selatan dan Brasil, di mana warganya menghabiskan lebih dari 9 jam sehari di internet.
Intinya, yang menjadi sorotan adalah dominasi mutlak ponsel dalam kehidupan digital kita: 63% memilih ponsel untuk online, sementara hanya 37% yang menggunakan komputer.
Lebih dalam lagi, rata-rata orang Indonesia menggunakan ponsel sekitar 4 jam 38 menit sehari. Angka ini membuat kita hampir setara dengan negara-negara dengan ketergantungan digital paling tinggi di dunia.
Dari sisi demografi, generasi muda perempuan usia 16-24 tahun menjadi kelompok paling aktif, dengan durasi penggunaan ponsel mencapai 4 jam 44 menit per hari. Di sisi lain, laki-laki usia 25-44 tahun lebih sering menggunakan komputer, meski tak bisa mengejar dominasi ponsel.
Sekilas, ini terdengar seperti prestasi, yang menunjukkan bukti bahwa Indonesia semakin terkoneksi, semakin "melek digital." Tapi di balik angka fantastis itu, ada pertanyaan menggelisahkan, yaitu apa yang sebenarnya kita menangkan?
Melihat tren ini, sulit untuk tidak merasa miris. Ketergantungan ini bukan hanya soal menikmati teknologi, ini tentang bagaimana kita perlahan membiarkan layar kecil di genggaman mengatur alur kehidupan kita.
Orang menyebut ini "bersosialisasi di era modern" tapi kenyataannya, banyak dari kita terjebak dalam konsumsi konten tanpa arah, scroll tanpa henti, dan pencarian dopamin instan yang tidak pernah cukup.
Ironisnya, di tengah segala kemudahan ini, justru produktivitas, fokus, dan kualitas interaksi sosial makin tergerus. Kita punya dunia di ujung jari, tetapi kita justru kehilangan dunia nyata di sekitar kita.
Dengan adopsi teknologi yang semakin cepat, fenomena ini hampir pasti akan terus tumbuh. Pertanyaannya, sampai kapan kita sekadar menjadi konsumen digital yang pasif? Kapan kita mulai beralih dari hanya menggunakan teknologi menjadi benar-benar memanfaatkannya untuk belajar dan berkreasi.
Menjadi nomor satu memang terdengar membanggakan. Tapi dalam hal ketergantungan digital, barangkali ini bukan kemenangan yang patut dirayakan.
(*)