BLOGSIA.EU.ORG - Pernah melihat seseorang yang hidupnya mewah, selalu dapat rezeki, tapi terang-terangan bermaksiat?
Bisa jadi itu bukan tanda keberkahan, tapi justru bentuk istidraj, yaitu jebakan berupa nikmat yang datang sebelum azab.
Apa Itu Istidraj?
Istidraj adalah kondisi ketika seseorang mendapatkan banyak kenikmatan dunia, seperti harta, jabatan, atau popularitas, padahal ia terus-menerus melanggar perintah Allah. Ia tidak semakin dekat kepada-Nya, malah makin jauh.
Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai istidraj: nikmat yang diberikan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya membawa kepada kebinasaan.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145).
Kenapa Allah Membiarkan?
Allah tidak selalu langsung menghukum orang yang bermaksiat. Kadang, Allah membiarkan mereka hidup nyaman dan tenang. Bahkan, semua pintu rezeki dibukakan. Tapi itu bukan bentuk rahmat. Itu adalah ujian yang berat.
Allah Ta’la Berfirman dalam Al-Qur’an:
ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”
Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya.
Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat.
Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.
Salah Kaprah: "Kalau Dapat Nikmat, Berarti Dicintai Allah"
Banyak orang berpikir: “Kalau hidupku nyaman, berarti Allah sayang.” Padahal tidak selalu demikian.
Allah berfirman:
ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17)
dikutip dari Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak semua yang diberi kelapangan rezeki berarti dimuliakan, dan tidak semua yang diuji berarti dihinakan. Bisa jadi, orang yang hidup sederhana justru lebih mulia di sisi Allah.
Para Salaf juga memberikan nasihat terkait masalah ini, mereka berkata:
ِرُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ
“Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)
Berikut cara membedakan antara Nikmat dan Istidraj:
- Apakah nikmat itu membuatmu lebih taat atau lebih lalai?
- Apakah rezeki itu membuatmu bersyukur atau sombong?
- Apakah hatimu tenang karena iman, atau sibuk karena dunia?
Penutup
Istidraj adalah ujian yang tidak terasa seperti ujian. Orang yang mengalaminya merasa hidupnya berhasil, padahal sedang dijauhkan dari hidayah.
Ini lebih berbahaya daripada musibah yang nyata. Jangan tertipu dengan nikmat. Ukur keberkahan bukan dari banyaknya harta, tapi dari dekatnya hati kepada Allah. Semoga nikmat yang Allah berikan kepada kita bukanlah istidraj.Wallahu A'lam
(*)
Apa Itu Istidraj?
Istidraj adalah kondisi ketika seseorang mendapatkan banyak kenikmatan dunia, seperti harta, jabatan, atau popularitas, padahal ia terus-menerus melanggar perintah Allah. Ia tidak semakin dekat kepada-Nya, malah makin jauh.
Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai istidraj: nikmat yang diberikan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya membawa kepada kebinasaan.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
ِإِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4:145).
Kenapa Allah Membiarkan?
Allah tidak selalu langsung menghukum orang yang bermaksiat. Kadang, Allah membiarkan mereka hidup nyaman dan tenang. Bahkan, semua pintu rezeki dibukakan. Tapi itu bukan bentuk rahmat. Itu adalah ujian yang berat.
Allah Ta’la Berfirman dalam Al-Qur’an:
ِفَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Dalam Tafsir Al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”
Contoh istidraj bisa kita lihat pada orang yang hidup dalam kemewahan dan kesenangan, tetapi jauh dari nilai-nilai agama. Misalnya, seseorang yang sukses secara finansial tetapi terlibat dalam praktik korupsi atau dosa lainnya.
Kekayaan dan keberuntungan yang mereka peroleh bukanlah tanda keberkahan, melainkan bisa jadi merupakan istidraj yang mengarah pada kerugian yang lebih besar di akhirat.
Seiring waktu, mereka mungkin akan menghadapi konsekuensi dari perilaku tersebut, yang bisa berujung pada kesedihan dan penyesalan.
Salah Kaprah: "Kalau Dapat Nikmat, Berarti Dicintai Allah"
Banyak orang berpikir: “Kalau hidupku nyaman, berarti Allah sayang.” Padahal tidak selalu demikian.
Allah berfirman:
ِفَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِي – وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِي – كَلَّا
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak demikian …” (QS. Al-Fajr: 15-17)
dikutip dari Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, tidak semua yang diberi kelapangan rezeki berarti dimuliakan, dan tidak semua yang diuji berarti dihinakan. Bisa jadi, orang yang hidup sederhana justru lebih mulia di sisi Allah.
Para Salaf juga memberikan nasihat terkait masalah ini, mereka berkata:
ِرُبَّ مُسْتَدْرَجٍ بِنِعَمِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَغْرُورٍ بِسَتْرِ اللَّهِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ، وَرُبَّ مَفْتُونٍ بِثَنَاءِ النَّاسِ عَلَيْهِ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ
“Betapa banyak orang yang terpedaya dengan nikmat Allah tanpa disadarinya, betapa banyak orang yang tertipu dengan tabir Allah tanpa disadarinya, dan betapa banyak orang yang terfitnah dengan pujian manusia kepada dirinya tanpa disadarinya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 55)
Berikut cara membedakan antara Nikmat dan Istidraj:
- Apakah nikmat itu membuatmu lebih taat atau lebih lalai?
- Apakah rezeki itu membuatmu bersyukur atau sombong?
- Apakah hatimu tenang karena iman, atau sibuk karena dunia?
Penutup
Istidraj adalah ujian yang tidak terasa seperti ujian. Orang yang mengalaminya merasa hidupnya berhasil, padahal sedang dijauhkan dari hidayah.
Ini lebih berbahaya daripada musibah yang nyata. Jangan tertipu dengan nikmat. Ukur keberkahan bukan dari banyaknya harta, tapi dari dekatnya hati kepada Allah. Semoga nikmat yang Allah berikan kepada kita bukanlah istidraj.Wallahu A'lam
(*)