BLOGSIA.EU.ORG - Mixue pernah menjadi fenomena. Dengan ekspansi yang sangat agresif, waralaba es krim dan teh asal Tiongkok ini menyebar cepat ke berbagai penjuru kota.
Ribuan gerai bermunculan dalam waktu singkat, sampai-sampai publik menjulukinya sebagai “pencabut ruko” karena begitu mudah menemukan outlet Mixue di hampir setiap sudut jalan.Namun kini, gaungnya meredup. Gerai-gerai yang dulu selalu ramai mulai tampak sepi. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana brand yang begitu cepat naik, sekarang seolah kehilangan momentum?
1. Ketika Ekspansi Cepat Menjadi Pedang Bermata Dua
Ekspansi besar-besaran bisa mengesankan, tapi tanpa strategi matang, justru bisa menjadi bumerang.
Dalam kasus Mixue, pertumbuhan outlet yang masif justru menciptakan masalah dari dalam: kanibalisasi pasar.
Alih-alih bersaing dengan brand lain, Mixue justru bersaing dengan dirinya sendiri. Banyak gerai berdiri terlalu berdekatan, saling memakan pasar satu sama lain.
Lonjakan jumlah outlet tidak diiringi dengan pertumbuhan profitabilitas. Bahkan, dalam beberapa kasus, gerai hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya tutup.
Insight: Ekspansi bukan soal kuantitas semata. Analisis lokasi, daya beli, dan permintaan lokal adalah kunci. Banyak bukan berarti baik.
2. Viralitas Itu Sementara
Kesuksesan awal Mixue sangat dipengaruhi oleh viralitas media sosial. Maskot lucu, harga murah, dan branding yang catchy membuatnya cepat terkenal.
Tapi seperti tren lain di internet, viralitas punya umur. Minuman manis adalah kategori produk yang sangat cepat berubah. Konsumen selalu mencari sensasi baru.
Di sisi lain, pesaing seperti Mie Gacoan tetap bertahan karena menawarkan lebih dari sekadar produk. Mereka menawarkan pengalaman makan, tempat nongkrong, dan nuansa yang tidak cepat basi.
Insight: Mengandalkan tren sesaat berisiko tinggi. Inovasi produk dan pengalaman pelanggan yang berkelanjutan adalah kunci mempertahankan eksistensi.
3. Branding Tidak Cukup dengan Maskot
Mixue berhasil mencuri perhatian dengan maskot salju yang imut dan jingle yang catchy. Tapi branding tidak cukup hanya berhenti di visual atau gimmick lucu. Konsumen tidak hanya ingin lucu-lucuan, mereka mencari koneksi, identitas, dan nilai.
Ambillah contoh kompetitor nya yang lebih kuat brandingnya, seperti Starbucks atau Tuku tidak hanya menjual produk, tapi menciptakan komunitas, gaya hidup, dan kebiasaan.
Mereka punya tempat dalam keseharian konsumennya. Mixue belum mencapai titik itu. Maskot lucu tidak bisa menggantikan kedekatan emosional.
Insight: Branding sejati adalah tentang membangun relasi jangka panjang dengan konsumen, bukan hanya viral sesaat.
4. Murah Tidak Bisa Jadi Strategi Utama
Harga terjangkau adalah daya tarik utama Mixue. Tapi dalam ekonomi yang tidak menentu, bahkan produk murah bisa ditinggalkan jika tidak memberi nilai lebih. Konsumen tidak hanya mencari yang paling murah, mereka mencari yang paling worth it.
Sementara Mixue mengandalkan harga terjangkau, pemain premium seperti Chatime dan KOI tetap eksis dengan positioning yang kuat. Mereka menjual pengalaman dan kualitas, bukan sekadar minuman.
Insight: Harga murah bisa menarik pelanggan, tapi loyalitas dibangun lewat kualitas, pelayanan, dan pengalaman menyeluruh.
Penutup: Hype Boleh, Tapi Harus Dibayar dengan Strategi
Mixue adalah contoh bagaimana sebuah brand bisa naik sangat cepat karena momentum, tapi juga bisa turun drastis jika tidak punya fondasi yang cukup kuat. Viralitas membuka pintu, tapi mempertahankan bisnis butuh lebih dari itu: strategi, inovasi, dan koneksi emosional dengan pelanggan.
Apakah Mixue masih bisa bangkit? Tentu saja. Tapi syaratnya jelas, berhenti hanya mengejar angka, dan mulai membangun nilai.
(*)