BLOGSIA.EU.ORG - Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman mikroplastik terhadap kesehatan manusia semakin menjadi sorotan.
Kini, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Nature Medicine pada 3 Februari 2024 mengungkapkan fakta mengejutkan: partikel mikroplastik juga ditemukan dalam jaringan otak manusia dalam jumlah yang lebih tinggi dari bagian tubuh lainnya seperti paru-paru, hati, atau darah.
Penelitian ini menganalisis 91 sampel jaringan otak manusia yang dikumpulkan selama 25 tahun terakhir. Setiap sampel berasal dari individu yang telah meninggal dunia dan menyumbangkan organnya untuk keperluan ilmiah.
Penelitian ini menganalisis 91 sampel jaringan otak manusia yang dikumpulkan selama 25 tahun terakhir. Setiap sampel berasal dari individu yang telah meninggal dunia dan menyumbangkan organnya untuk keperluan ilmiah.
Temuan yang dihasilkan cukup mencengangkan: rata-rata kandungan mikroplastik dalam jaringan otak mengalami peningkatan tajam dari 3.345 mikrogram per gram pada tahun 2016 menjadi 4.917 mikrogram per gram pada tahun 2024—naik hampir 50 persen hanya dalam delapan tahun.
Andrew West, seorang ahli saraf dari Duke University di Durham, North Carolina, sekaligus salah satu penulis studi ini, mengaku pada awalnya tidak percaya dengan hasil yang diperoleh.
Andrew West, seorang ahli saraf dari Duke University di Durham, North Carolina, sekaligus salah satu penulis studi ini, mengaku pada awalnya tidak percaya dengan hasil yang diperoleh.
“Tingkat plastik yang ditemukan dalam otak hampir tak dapat dipercaya,” ujarnya.
Namun, setelah melihat data dari berbagai uji laboratorium dengan teknik berbeda, ia yakin bahwa temuan ini akurat.
Sementara itu, Richard Thompson, pakar mikroplastik dari University of Plymouth di Inggris yang juga menjadi pelopor penelitian polusi mikroplastik sejak tahun 2011, mengaku tidak terkejut.
Sementara itu, Richard Thompson, pakar mikroplastik dari University of Plymouth di Inggris yang juga menjadi pelopor penelitian polusi mikroplastik sejak tahun 2011, mengaku tidak terkejut.
Menurutnya, partikel plastik kecil ini memang telah menyusup ke dalam makanan, minuman, dan bahkan udara yang kita hirup setiap hari. “Jadi, sangat masuk akal jika partikel ini juga berhasil masuk ke dalam tubuh manusia,” kata Thompson.
Yang membuat temuan ini lebih mencengangkan adalah kenyataan bahwa mikroplastik berhasil menembus blood-brain barrier, sebuah lapisan pelindung penting yang berfungsi menyaring zat-zat berbahaya agar tidak masuk ke dalam otak.
Yang membuat temuan ini lebih mencengangkan adalah kenyataan bahwa mikroplastik berhasil menembus blood-brain barrier, sebuah lapisan pelindung penting yang berfungsi menyaring zat-zat berbahaya agar tidak masuk ke dalam otak.
Penetrasi mikroplastik ini menunjukkan bahwa sistem pertahanan alami tubuh terhadap zat asing tidak cukup kuat untuk menghadang partikel plastik berukuran mikro dan nano.
Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa pada tahun 2024, jumlah partikel plastik dalam jaringan otak bisa mencapai 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan yang ditemukan dalam jaringan hati dan ginjal.
Lebih lanjut, penelitian ini menemukan bahwa pada tahun 2024, jumlah partikel plastik dalam jaringan otak bisa mencapai 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan yang ditemukan dalam jaringan hati dan ginjal.
Namun, tidak semua individu menunjukkan kadar mikroplastik tinggi. Hal ini memicu pertanyaan baru: mengapa sebagian orang bisa terhindar dari akumulasi partikel ini? Peneliti masih menyelidiki faktor-faktor penyebabnya.
Dalam hal bentuk, partikel plastik yang ditemukan juga tidak seragam. Berbeda dengan partikel berbentuk bulat yang biasa digunakan dalam penelitian laboratorium, fragmen plastik yang ditemukan dalam otak berbentuk panjang dan tajam, menyerupai serpihan-serpihan kecil.
Dalam hal bentuk, partikel plastik yang ditemukan juga tidak seragam. Berbeda dengan partikel berbentuk bulat yang biasa digunakan dalam penelitian laboratorium, fragmen plastik yang ditemukan dalam otak berbentuk panjang dan tajam, menyerupai serpihan-serpihan kecil.
Selain itu, jenis plastik yang paling banyak ditemukan bukan polistirena, melainkan polietilena—bahan umum yang digunakan dalam kantong belanja, botol sampo, hingga mainan anak.
Meskipun penelitian ini belum dapat memastikan dampak langsung keberadaan mikroplastik dalam otak terhadap kesehatan manusia, sejumlah ahli menilai hasil ini patut menjadi perhatian serius.
Meskipun penelitian ini belum dapat memastikan dampak langsung keberadaan mikroplastik dalam otak terhadap kesehatan manusia, sejumlah ahli menilai hasil ini patut menjadi perhatian serius.
Dr. Raffaele Marfella, seorang peneliti kardiovaskular dari Universitas Campania “Luigi Vanvitelli” di Naples, Italia, menyebutkan bahwa temuan ini sangat penting dan mengkhawatirkan. Pasalnya, studi sebelumnya telah mengaitkan keberadaan mikroplastik dalam darah dengan peningkatan risiko serangan jantung, stroke, dan kematian dini.
Kekhawatiran terhadap dampak mikroplastik pada fungsi otak juga diperkuat oleh studi kedua yang disampaikan oleh tim peneliti dari Lahey Hospital & Medical Center, Burlington, Massachusetts.
Kekhawatiran terhadap dampak mikroplastik pada fungsi otak juga diperkuat oleh studi kedua yang disampaikan oleh tim peneliti dari Lahey Hospital & Medical Center, Burlington, Massachusetts.
Penelitian ini menganalisis data dari lebih dari enam juta orang yang tinggal di 218 wilayah pesisir Amerika Serikat, dan membandingkannya dengan kadar mikroplastik di air laut di wilayah masing-masing.
Hasilnya menunjukkan bahwa di daerah dengan kadar mikroplastik tertinggi, penduduknya memiliki risiko 9 persen lebih tinggi mengalami gangguan kognitif seperti kesulitan berpikir dan mengingat.
Hasilnya menunjukkan bahwa di daerah dengan kadar mikroplastik tertinggi, penduduknya memiliki risiko 9 persen lebih tinggi mengalami gangguan kognitif seperti kesulitan berpikir dan mengingat.
Mereka juga lebih mungkin mengalami kesulitan menjalani aktivitas harian seperti berpakaian, berbelanja, atau berjalan-jalan di lingkungan sekitar. Penelitian ini disampaikan dalam pertemuan American Academy of Neurology pada awal April 2025.
Meskipun belum dapat membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung, temuan ini menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara paparan mikroplastik dan gangguan fungsi otak.
Meskipun belum dapat membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung, temuan ini menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara paparan mikroplastik dan gangguan fungsi otak.
“Kami hanya menemukan asosiasi, bukan bukti kausalitas,” ujar Dr. Sarju Ganatra, pimpinan penelitian tersebut.
Namun, menurutnya, asosiasi semacam ini penting untuk memandu penelitian lanjutan. Ia menekankan pentingnya pengembangan metode pengukuran mikroplastik dalam tubuh manusia secara individu agar dapat dipahami dampaknya terhadap otak, sistem hormon, dan jantung.
Ganatra, yang juga seorang ayah dari anak berusia delapan tahun, mengingatkan pentingnya memikirkan masa depan generasi mendatang.
Ganatra, yang juga seorang ayah dari anak berusia delapan tahun, mengingatkan pentingnya memikirkan masa depan generasi mendatang.
“Sebagai orang tua, saya merasa penting untuk mulai memikirkan bagaimana kita mengukur dan mengurangi paparan mikroplastik pada anak-anak dan masyarakat secara umum,” katanya.
Secara keseluruhan, kedua studi ini memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa mikroplastik bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga berpotensi besar mempengaruhi kesehatan manusia, termasuk fungsi otak. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, para ahli sepakat bahwa tindakan pencegahan dan penelitian lanjutan sangat diperlukan.
Secara keseluruhan, kedua studi ini memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa mikroplastik bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga berpotensi besar mempengaruhi kesehatan manusia, termasuk fungsi otak. Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, para ahli sepakat bahwa tindakan pencegahan dan penelitian lanjutan sangat diperlukan.
(*)
-------------------
Ditulis oleh: Laura Sanders dan Janet Raloff
Sumber: snexplores