Kamis, 17 April 2025, 13.08 WIB
Last Updated 2025-04-17T06:17:06Z
berita hari iniPendidikanpendidikan Indonesiasiswa tidak bisa membaca

Ratusan Siswa SMP di Bali Tak Bisa Membaca: Bukti Gagalnya Sistem Pendidikan

Ratusan Siswa SMP di Bali Tak Bisa Membaca: Bukti Gagalnya Sistem Pendidikan


BLOGSIA.EU.ORG - Ratusan siswa SMP di Kabupaten Buleleng, Bali, tercatat tidak bisa membaca. Ini jadi alarm keras tentang kegagalan sistem pendidikan Indonesia.

Dilansir dari CNN Indonesia, dari 34.062 siswa, 155 tidak mengenal huruf sama sekali, dan 208 lainnya terbata-bata saat membaca.

Menurut Plt Kepala Disdikpora Buleleng Putu Ariadi Pribadi, masalah ini disebabkan oleh berbagai faktor baik secara internal dan eksternal yang dialami oleh siswa.

Dari dalam diri siswa, ada kurangnya motivasi belajar, disleksia, hingga keterbatasan fisik. Di luar, mental siswa dihantam oleh sisa trauma dari pembelajaran jarak jauh, kurikulum yang membingungkan, dan keluarga yang kacau.

“Ada anak-anak yang pulang ke rumah hanya untuk disambut kekerasan, perceraian, atau kehilangan. Mereka menyimpan luka yang memengaruhi daya tangkapnya di kelas,” ujar Putu Ariadi.

Namun bagi pengamat pendidikan, ini bukan fenomena baru. Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut kasus ini hanyalah puncak dari masalah yang selama ini dikubur dalam-dalam.

“Kondisi ini bukan tiba-tiba. Ini hasil dari pembiaran sistemik. Anak tidak bisa membaca itu sudah jadi hal biasa di banyak sekolah,” tegas Ubaid.

Lebih ironis lagi, lembaga kursus membaca kini justru ramai peminat. Bukan karena orang tua ingin anaknya unggul, tapi karena sekolah gagal mengajarkan kemampuan dasar.

“Kalau sekolah menjalankan fungsi dasarnya, lembaga kursus tidak akan dibanjiri anak-anak,” tambahnya.

Menurut Ubaid, sistem pendidikan nasional tak pernah punya visi jangka panjang. Kebijakan berganti setiap kali kursi menteri berganti. Tidak ada evaluasi berbasis data, tidak ada konsistensi.

“Ini bukan reformasi. Ini acak-acakan. Setiap menteri datang dengan wacana baru, lalu pergi tanpa jejak,” ujarnya.

Ia juga menyoroti kondisi guru. Banyak yang terjebak urusan administratif, dengan kesejahteraan pas-pasan, dan pelatihan yang minim. Akibatnya, kompetensi guru pun ikut tenggelam.

“Minat baca guru saja rendah, apalagi muridnya. Di sekolah, budaya literasi nyaris mati,” ucap Ubaid.

Satriwan Salim dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru sepakat bahwa ini semua bukan soal teknis, tapi soal visi. Ia menyindir program makan bergizi gratis sebagai respons pemerintah terhadap krisis pendidikan.

“Anaknya dikasih makan, tapi apa gunanya kalau pembelajarannya tetap buruk? Ini bukan soal perut semata, tapi soal isi kepala,” katanya.

Ia menegaskan bahwa pendidikan butuh ide besar jangka panjang, bukan proyek populis yang dangkal.

Tanpa perbaikan kualitas guru, infrastruktur, hingga arah kebijakan, pendidikan Indonesia akan terus memproduksi generasi yang terpinggirkan sejak di bangku sekolah.

(*)

Advertisement
close