Kamis, 24 April 2025, 14.42 WIB
Last Updated 2025-04-24T09:19:16Z
Integritas Sekolah dan KampusPendidikanSkor SPI Pendidikan

Skor SPI Pendidikan 2024 Turun Jadi 69,5, KPK Temukan Masalah Serius di Sekolah dan Kampus

Skor SPI Pendidikan 2024 Turun Jadi 69,5, KPK Temukan Masalah Serius di Sekolah dan Kampus



BLOGSIA.EU.ORG - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penurunan skor Indeks Integritas Pendidikan Nasional dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024, yang turun menjadi 69,5 poin secara nasional. Angka ini lebih rendah dibandingkan skor tahun 2023 sebesar 73,7 poin.

Hasil tersebut dipresentasikan dalam peluncuran resmi Indeks Integritas Pendidikan pada hari Kamis (24/4/2025) di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan. 

Acara ini dihadiri sejumlah pejabat penting, termasuk Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menteri Agama Nassarudin Umar, dan Wamendikti bidang Sains dan Teknologi, Stella Christie.

KPK menjelaskan bahwa survei tahun ini melibatkan lebih dari 36 ribu satuan pendidikan, mencakup tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, serta menjaring lebih dari 449 ribu responden dari berbagai elemen: siswa, mahasiswa, guru, dosen, orang tua, hingga kepala sekolah dan rektor.

Dilansir dari Detik.com (24/4), Menurut Wawan Wardiana selaku Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK menyebut bahwa penurunan skor ini salah satunya disebabkan oleh perubahan cakupan survei. 

Jika sebelumnya SPI hanya dilakukan di tingkat nasional atau provinsi, pada 2024 survei diperluas hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Hal ini menyebabkan hasil yang lebih rinci dan mencerminkan tantangan integritas yang lebih beragam.

Survei SPI 2024 menilai tiga dimensi utama dalam dunia pendidikan: karakter peserta didik, ekosistem pendidikan antikorupsi, dan risiko korupsi dalam pengelolaan institusi pendidikan. Hasilnya menunjukkan bahwa praktik tidak etis masih menyebar luas di sekolah dan kampus.

KPK mengungkap bahwa menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen perguruan tinggi. Tidak hanya itu, 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa mengaku sering datang terlambat, dan guru atau dosen juga tercatat sering absen atau datang tidak tepat waktu di sebagian besar institusi.

Masalah gratifikasi juga masih menjadi budaya yang dianggap wajar. Sekitar 30 persen guru dan dosen serta 18 persen kepala sekolah atau rektor menganggap pemberian hadiah dari murid atau orang tua sebagai hal yang lumrah. Di 22 persen sekolah, hadiah diberikan dengan harapan agar siswa mendapatkan nilai bagus atau lulus ujian.

Dalam aspek pengadaan, 43 persen sekolah dan 68 persen kampus ditemukan memilih vendor berdasarkan hubungan pribadi pimpinan institusi. Di 26 persen sekolah dan 68 persen kampus, satuan pendidikan bahkan menerima komisi dari pihak penyedia jasa. 

Transparansi pengadaan juga lemah, terbukti dari data bahwa 75 persen sekolah dan 87 persen kampus menjalankan proses pengadaan yang tidak terbuka.

Pengelolaan dana BOS juga disoroti. Sekitar 12 persen sekolah dilaporkan menyalahgunakan dana BOS, termasuk dalam bentuk pungutan liar atau pemotongan. Di 17 persen sekolah, pungutan terhadap dana BOS masih terjadi. 

Selain itu, praktik nepotisme dalam pengadaan barang atau proyek terjadi di 40 persen sekolah, dan 47 persen sekolah diketahui melakukan pembengkakan biaya pada dana lainnya.

Pungutan tidak resmi juga masih marak ditemukan. Dalam proses penerimaan siswa baru, 28 persen sekolah masih melakukan pungli. Sementara itu, sertifikasi dan pengurusan dokumen lainnya juga dikenakan biaya tambahan di 23 persen sekolah dan 60 persen perguruan tinggi.

KPK menegaskan bahwa temuan-temuan ini mencerminkan masih lemahnya budaya integritas di dunia pendidikan. 

SPI Pendidikan 2024 menjadi peringatan serius bahwa praktik-praktik koruptif, dari yang kecil hingga sistemik, masih terjadi secara luas dan memerlukan langkah konkret dari semua pihak, baik itu pemerintah, sekolah, hingga masyarakat, untuk dibenahi.

(*)
Advertisement
close